Wednesday, December 9, 2009

Paradigma Pembelajaran Dan Learning Revolution


Paradigma Pembelajaran Dan Learning Revolution
Oleh: Dr. Bornok Sinaga, M.Pd
(Dosen Jurusan Matematika Unimed)

A. PENDAHULUAN
Manusia lahir dan berpijak di bumi. Sejak lahir, ia memiliki potensi (kemampuan berpikir) dalam memandang alam semesta dari segala isi dan aspeknya. ....

Interaksi manusia terhadap keadaannya yang dilakukan secara individu maupun interaksi sosial kultur dengan lingkungan dan orang lain disekitarnya, akan menghasilkan pengetahuan. Refleksi pemikiran terhadap pengetahuan, manusia menjadi tahu tentang apa yang ia ketahui dan menjadi tahu tentang apa yang ia tidak ketahui. Di samping itu, manusia menerima ketidak-tahuannya tentang apa yang ia ketahui dan menyadari ketidak-tahuannya tentang apa yang ia tidak ketahui.
Banyak hal yang tertangkap oleh intuisi (pikiran) manusia dari alam nyata maupun dari dunia transedental sebagai objek abstraksi mengandalkan rasional (logika), pengamatan (indrawi), dan pengalaman hidup yang dimilikinya. Dengan memberikan perhatian yang terus menerus terhadap pelbagai segi sehingga refleksi pemikiran itu sampai pada suatu generalisasi yang menjadi ilmu pengetahuan baru bagi manusia. Pertanyaan filosofisnya adalah apakah perspektif dan refleksi pemikiran kita sama?. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar ?.
Perspektif dan refleksi pemikiran seseorang dimungkinkan berbeda dengan orang lain terhadap suatu masalah atau objek yang sama. Perspektif pemikiran ini merupakan titik berpijak dalam membangun suatu ilmu pengetahuan. Dengan demikian, seseorang tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu pengetahuan itu benar. Banyak pertanyaan yang dapat diajukan, yakni mengapa ilmu itu disebut benar? Apa kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan ilmu itu benar? Apakah proses justifikasi berdasarkan kriteria sudah dilakukan dengan benar? Apakah kriteria itu sendiri benar? Seperti sebuah lingkaran, pertanyaan itu melingkar. Pertanyaan reflektif terhadap kebenaran suatu ilmu pengetahuan dapat memperluas cakupan ilmu tersebut dan dimungkinkan melahirkan ilmu baru.


Gambar 1: Titik Berpijak Pemikiran Mamusia Menelusuri Kebenaran
Dari titik berpijak pemikiran manusia, mereka melahirkan asumsi-asumsi yang menjadi kaca mata dalam memandang objek atau masalah dan melahirkan makna kebenaran. Cara pandang manusia terhadap suatu objek atau masalah yang disebut paradigma. Istilah paradigma terungkap dalam buku the structure of scientifi revolution (Kuhn, 2002). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara pandang terhadap suatu obyek. Cara pandang tersebut boleh jadi hanya bersifat penyempurnaan atau sama sekali pergantian pandangan.
Ihalauw (2000), mengemukakan konsep paradigma dalam dua pemahaman. Pertama, paradigma dipahami sebagai sebuah citra fundamental (baik yang sedang berlaku ataupun yang baru sebagai hasil dari revolusi keilmuan) dari permasalahan pokok dalam sebuah ilmu. Kedua, paradigma sebagai titik pandang disertai seperangkat asumsi yang merepresentasikan gagasan ilmiah.
Berdasarkan kedua definisi paradigma tersebut, dapat dipahami bahwa paradigma merepresentasikan landasan ontologi dan epistemologi suatu gagasan. Sebagai cara pandang atau citra fundamental, dalam paradigma tersurat dan tersirat gagasan apa yang harus dikaji dan bagaimana cara mengkajinya.
Dalam upaya menemukan apa yang dikaji dan bagaimana cara mengkajinya, secara wajar seseorang menghendaki adanya kemajuan baik terhadap apa yang dikaji maupun terhadap bagaimana cara mengkajinya. Dengan kata lain, perubahan paradigma sangat dibutuhkan untuk mencapai kemajuan tersebut. Dalam konteks belajar, mahasiswa secara alamiah akan mengalami perkembangan pengetahuan pada dirinya. Perkembangan pengetahuan dapat terjadi dari hasil penyempurnaan pengetahuan yang telah dimiliki atau pergantian pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Perkembangan pengetahuan mahasiswa diawali oleh adanya revolusi dari struktur kognitif yang mengalami anomali ke struktur yang diyakini bermakna bagi dirinya. Perkembangan pengetahuan merupakan hasil dari perubahan paradigma.
Perubahan paradigma mahasiswa sebagai produk pembelajaran sangat menentukan tingkat kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata. Hidup di dunia nyata dilandasi oleh semboyan: “Hari esok harus lebih baik dari sekarang”. Komitmen untuk mentaati semboyan tersebut merupakan dorongan hati yang ingin keluar dari zone nyaman, sehingga hidupnya tidak akan menjadi korban pesona terbatas. Artinya, Perubahan paradigma sangat penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi abad pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran manufaktur ke sektor jasa berbasis pengetahuan, perubahan paradigma itu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kehidupan manusia. Artinya, ketika kehidupan telah berubah menjadi semakin maju dan kompleks, masalah-masalah yang banyak diwarnai oleh ketidakpastian hendaknya dapat dijelaskan secara keilmuan. Perkembangan kualitas dan kuantitas keilmuan mahasiswa sangat bergantung kepada kemampuannya untuk melakukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma mahasiswa merepresentasikan munculnya pemahaman (understanding) (Dole & Sinatra, 1998; Wenning, 2006b).
Kemampuan mahasiswa untuk melakukan perubahan paradigma berasal dari dua faktor, dari dalam dan dari luar dirinya. Faham konstruktivistik meyakini, bahwa mahasiswa mampu membangun dirinya sendiri. Namun, dalam konteks perubahan paradigma, mereka membutuhkan interaksi dengan lingkungan. Interaksi dengan lingkungan dibutuhkan untuk menemukan arah perubahan paradigma yang dilakukan. Interaksi tersebut terjadi sebagai akibat mahasiswa adalah eksis dan bereksistensi. Interaksi tersebut adalah intensionalitas pra-sadar dan ontologis. Interaksi yang terjadi lewat dialog antara mahasiswa dengan lingkungan tersebut diawali dari hasil refleksi diri yang didorong dan mendorong kesadaran untuk meningkatkan kompetensi bereksistensi. Dalam hal inilah, mahasiswa membutuhkan pelayanan dari lingkungan di mana mereka berada dan beraktivitas. Jadi, pengakomodasian perubahan paradigma sebagai salah satu wujud pelayanan mahasiswa merupakan salah satu unsur penting dalam pembelajaran.
Gagasan pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa dalam pembelajaran dilandasi oleh beberapa konsepsi teoretis. (1) Kehidupan dan kebutuhan mahasiswa adalah masalah dan senantiasa berubah. (2) Konsepsi ilmu merupakan subyek yang senantiasa mengalami perubahan (Wenning, 2006b). (3) Learning requires learning to do the problems (Oman & Oman, 1997:xvii). (4) Effort to solve problem and apply meaningful knowedge must be preceded by positive attitude and effort to understand it (Simon, 1996:94).
Berdasarkan penjelasan teoretis tersebut, pemahaman {understanding) merupakan kata kunci dalam pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa dalam pembelajaran. Beberapa konsepsi teoretis yang melandasi kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut. (1) Konsepsi belajar mengacu pada pandangan konstruktivistik, bahwa understanding construction menjadi lebih penting dibandingkan memorizing fact (Brook & Brook, 1993; Jonassen, 1999; Mayer, 1999; Morrison & Collins, 1996; Riesbeck, 1996). (2) Rote learning leads to inert knowledgewe know something but never apply it to real life'" (Heinich, et al, 2002). (3) Salah satu tujuan pendidikan adalah memfasilitasi mahasiswa to achieve understanding yang dapat diungkapkan secara verbal, numerikal, kerangka pikir positivistik, kerangka pikir kehidupan berkelompok, dan kerangka kontemplasi spiritual (Gardner, 1999a). (4) Understanding is knoledge in thoughtful action (Perkin & Unger, 1999:95). (5) Pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan transformasi ilmu pengetahuan (Gardner, 1999b). (6) Pemahaman merupakan landasan bagi mahasiswa untuk membangun insight dan wisdom (Longworth, 1999:91). (7) Pemahaman merupakan indikator unjuk kerja yang siap direnungkan, dikritik, dan digunakan oleh orang lain (Dunlap & Grabinger, 1996; Gardner, 1999b; Willis, 2000). (8) Pemahaman merupakan perangkat baku program pendidikan yang merefleksikan kompetensi (Yulaelawaty, 2002). (9) Pemahaman muncul dari hasil koreksi, evaluasi, dan refleksi diri sendiri (Wenning, 2006b).
Dengan demikian, pemahaman sebagai representasi hasil perubahan paradigma mahasiswa dalam pembelajaran menjadi sangat penting. Landasan teoretis sebagai alternatif pijakan dalam mengemas pembelajaran untuk pemahaman (learning for understanding) sekaligus dalam pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa adalah sebagai berikut. (1) Tiga wawasan berpikir dalam pembelajaran ilmu: (a) to present subject matter is not teaching, (b) to store stuff away in the memory is not learning (c) to memorize what is stored away is not proof of understanding (Nachtigall, 1998:1). (2) Dosen dianjurkan untuk mengurangi berceritera dalam pembelajaran, tetapi lebih banyak mengajak para mahasiswa untuk bereksperimen dan memecahkan masalah (Williams, 2005). (3) Dosen dianjurkan lebih banyak menyediakan context-rich problem dan mengurangi context-poor problem dalam pembelajaran (Yerushalmi & Magen, 2006). Landasan teoretis tersebut menekankan pula pentingnya dosen melakukan perubahan paradigma dalam memfasilitasi mahasiswa, dari cara pandang: “mengajar adalah berceritera tentang konsep” menjadi sebuah perspektif ilmiah teoretis: “mengajar adalah menggubah lingkungan belajar dan menyiapkan rangsangan-rangsangan kepada mahasiswa untuk melakukan inquiry learning dan memecahkan masalah-masalah kontekstual dalam rangka mengkonstruksi pemahaman”(Wenning & Wenning, 2006). Hal ini penting, karena dalam belajar, mahasiswa akan cepat lupa jika hanya dijelaskan secara lisan, mereka akan ingat jika diberikan proses mengalami melalui pemecahan masalah, dan akan memahami jika diberikan kesempatan mencoba (Steinbach, 2002). Mengajar bukan berfokus pada how to teach tetapi hendaknya lebih berorientasi pada how to stimulate learning (Bryan, 2005; Longworth, 1999; Novodvorsky, 2006; Popov, 2006; Wenning, 2005(a); Wenning, 2006(b)) dan learning how to learn (Longworth, 1999; Novak & Gowin, 1985).
Oleh karena lingkungan merupakan salah satu fasilitas bagi mahasiswa untuk melakukan revolusi paradigma, maka konsepsi interaksi sosial menjadi penting untuk dipahami maknanya dalam pengakomodasian perubahan paradigma. Interaksi sosial yang optimal secara konseptual didukung oleh premis: “Students may learn more if teacher teach them less”. Premis ini dilandasi oleh gagasan teoretis: “Meaning making is not just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared knowledge (Costa, 1999:27). Konsepsi terakhir ini mengisyaratkan, bahwa dalam pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa, pembelajaran kolaboratif yang memberdayakan potensi dialog antar mahasiswa menjadi sangat penting.
A. PEMBAHASAN
1. Konsepsi Belajar dan Proses Belajar
Secara umum, terdapat tiga konsepsi tentang belajar (Mayer, 1999), yaitu: (1) belajar sebagai penguatan respon, (2) belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan (3) belajar sebagai konstruksi pengetahuan.
Konsepsi yang pertama, belajar sebagai penguatan respon, berkembang cukup lama hingga tahun 1950 dan mencapai puncaknya ketika perang dunia II. Menurut pandangan ini, belajar terjadi apabila mahasiswa memperkuat atau memperlemah suatu asosiasi antara stimulus dan respon. Teori ini mendasarkan diri pada hasil percobaan dengan binatang sebagai obyek terteliti. Menurut konsepsi ini, mahasiswa pasif menunggu stimulus dan merespon penghargaan dan hukuman yang direncanakan oleh dosen.
Konsepsi yang kedua, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, terjadi apabila mahasiswa dapat menyimpan informasi baru di dalam memori jangka panjang. Pandangan ini berkembang pada tahun 1950 hingga 1970-an yang mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai obyek dalam artificial setting. Peranan mahasiswa adalah pasif menerima informasi yang disajikan oleh Dosen secara tekstual. Konsepsi ini dilandasi oleh asumsi, bahwa informasi dapat ditransmisikan secara langsung dari Dosen ke mahasiswa. Mahasiswa diberi sejumlah informasi oleh Dosen sebagai pencipta lingkungan belajar melalui buku teks, ceramah, atau program multimedia berbasis komputer.
Konsepsi yang ketiga, belajar sebagai konstruksi pengetahuan, terjadi apabila mahasiswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam memori kerja. Pandangan ini berkembang sejak tahun 1980 hingga 1990-an yang mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai subjek dalam setting yang realistik. Menurut konsepsi ini, mahasiswa adalah pencipta gagasan, sedangkan dosen hanya sebagai fasilitator dan pemandu kognitif yang menyediakan bimbingan dan pemodelan pada tugas-tugas akademik yang otentik. Konsepsi yang ketiga tentang belajar tersebut mendasarkan diri pada pandangan konstruktivistik, bahwa belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan oleh mahasiswa sendiri berdasarkan hasil interaksinya dengan lingkungan. Konsepsi ini lebih meletakkan keyakinan bahwa mahasiswa sejak lahir telah dilengkapi dengan berbagai potensi yang siap berkembang menuju ke arah yang lebih sempurna.
Di dalam diri setiap mahasiswa telah dianugrahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa benih-benih niat dan akal untuk semakin tahu dan paham tentang semua hal yang ia jumpai atau alami, untuk berkembang dan maju. Mahasiswa adalah dosen atau dosen yang pertama dan utama untuk dirinya sendiri, kemudian barulah keluarga, masyarakat, dan terakhir adalah dosen di kampus (Mangunwijaya, 1998). Pernyataan senada dilontarkan oleh Rabindranath Tagore (dalam Sri Satya Sai Trust, 1998), bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini membawa pesan dari Tuhan dan siapapun orang di dunia ini tidak akan mampu mengahalangi potensinya untuk berkembang menjadi manusia unggul. Manusia sebagai individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya dalam rangka pembentukan kepribadiannya seumur hidup (Hooper, 2000; Tilaar, 2000a).
Penjelasan tersebut mengindikasikan, bahwa setiap mahasiswa memiliki kemampuan mengelola proses belajar sendiri yang menentukan cepat atau lambatnya mereka menaruh perhatian pada suatu permasalahan yang dihadapinya. Sebelum belajar dan mencoba memahami suatu persoalan, mahasiswa terlebih dulu menaruh perhatian terhadap permasalahan yang akan dipahami.
Perhatian sebagai tanda pertama belajar tersebut akhirnya mengkristal dalam bentuk sikap dan persepsi positif terhadap belajar. Sikap dan persepsi positif tersebut mucul sebagai akibat adanya resonansi antara pikiran dengan lingkungan belajar, koherensi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari, atau mahasiswa segera dapat menangkap makna tentang pengetahuan baru yang akan dipelajari. Jadi, sikap dan persepsi positif terhadap belajar merupakan cikal bakal yang sangat menentukan mahasiswa itu belajar atau tidak.
Setelah mahasiswa menaruh perhatian terhadap apa yang akan dipelajari, proses kedua, belajar ditandai dengan adanya upaya mahasiswa mencoba melakukan seleksi, organisasi, dan integrasi pengetahuan baru yang akan dipelajari ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Proses ini merupakan draft pembentukan pengetahuan yang sifatnya masih kasar (raw knowledge). Pada tahapan ini, pebelajar lebih banyak menggunakan keterampilan retention thinking dan baru akan mencoba tingkatan basic thinking.
Oleh karena pengetahuan yang telah diintegrasikan oleh mahasiswa ke struktur kognitifnya masih bersifat kasar, maka proses yang ketiga, belajar ditandai dengan adanya upaya mahasiswa untuk melakukan perluasan (extending) dan penyempurnaan (rifining) draft pengetahuan yang telah diintegrasikan di strutur kognitifnya. Keterampilan berpikir dasar (basic thinking) mahasiswa mendominasi aktivitas berpikirnya dalam proses perluasan dan penyempurnaan pengetahuan tersebut. Tingkatan berpikir yang digunakan sebagai landasan belajar pada tahapan ini telah melukiskan kerangka pemahaman yang secara gradual akan berproses dari yang dangkal menuju pemahaman yang mendalam (deep undestanding).
Proses belajar yang ke empat, adalah penerapan pengetahuan secara bermakna atas dasar pemahaman yang telah terkonstruksi di struktur kognitifnya. Merupakan suatu kewajiban, bahwa pemikiran akan makna konseptual menjadi tujuan pebelajar. Atas dorongan kemanusiaan, pebelajar berpikir tentang manfaat konsep yang dipelajari. Proses tersebut merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Sebagai konsekuensi dari pendekatan induktif-deduktif sebagai dua pendekatan yang kompelementer dalam mengkonstruksi pengetahuan, maka pengetahuan prosedural tidak hanya berfungsi sebagai hasil pengetahuan konseptual, tetapi juga berfungsi sebagai penghasil pengetahuan komseptual. Keterampilan-keterampilan penalaran (reasoning): basic thinking dan higher order thinking (critical thinking dan creative thinking) (Krulik & Rudnick, 1996; Lewis, & Smith, 1993) sangat mendominasi aktivitas berpikir peserta didik dalam proses belajar tersebut.
Proses belajar yang kelima, adalah pembiasaan berpikir efektif dan produktif. Di sinilah puncak peristiwa belajar seorang peserta didik (mahasiswa). Pembiasaan berpikir positif dan produktif tersebut tidak hanya untuk tujuan-tujuan duniawi, tetapi juga menembus dimensi-dimensi spiritual atas kesadaran peserta didik bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Proses belajar pada tingkatan ini ditandai dengan adanya perkembangan nilai (value) pada diri peserta didik. Nilai soft skill tersebut tidak hanya yang terkait dengan kepentingan peserta didik sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, tetapi juga suatu nilai yang mencerminkan suatu kesadaran rohani (Mulyana, 2004). Tahapan belajar “pembiasaan berpikir positif dan produktif” bersinergi dengan tahapan “sikap dan persepsi positif” dalam mempengaruhi tahapan belajar yang kedua, ketiga, dan keempat. Keterampilan berpikir tingkat tinggi, critical thinking dan creative thinking sangat dibutuhkan dalam menjalani proses belajar pada tahapan ini.
Kelima proses belajar tersebut mencerminkan dimensi belajar (Marzano et al., 1993). Dimensi belajar terdiri dari lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif. Dimensi belajar merupakan landasasan ilmiah dalam melakukan reformasi pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Kelima dimensi belajar tersebut saling berinteraksi dalam menentukan keefektifan belajar.

==========

No comments:

Post a Comment

Silakan memberikan komentar. Mohon maaf, apabila terlambat membalas dan setiap komentar akan melalui proses seleksi. Terima kasih atas kunjungan dan partisipasinya dalam memberi masukan.